Rasa Memiliki

Saat ini, dimana saja berada, baik di kantor, di pusat perbelanjaan, ataupun di berbagai perkumpulan, kebanyakan pembicaraan yang menjadi tema cenderung hanya seputar urusan dunia. Jarang sekali terdengar sebuah pembicaraan tentang urusan agama dijadikan sebagai topik utama. Tidaklah salah membicarakan urusan dunia, tempat dimana tiap manusia mengusahakan hidup dan kehidupan. Namun merupakan suatu yang ganjal bila menganggap pembicaraan tentang urusan akhirat, nasehat serta bermacam wejangan menjadi urusan nomor sekian serta asing ketika dibicarakan.

Ketika bahasan untuk saling ingat mengingatkan tentang urusan akhirat, sebuah urusan yang sangat pasti, menjadi “tidak umum” dan kurang menarik untuk di dengar dan di bahas. Pembicaraan persoalan agama, amal soleh, ibadah, nasihat dalam taat dan kebaikan serta segala macamnya yang sejenis seolah-olah hanya menjadi monopoli dan konsumsi ketika berada di masjid ataupun majelis ta’lim. Ketika lepas dari tempat-tempat tersebut, semua pembicaraan kembali pada perihal seputar dunia saja.

Begitu jarang dijumpai sebuah pembicaraan yang menyinggung permasalahan akhirat serta kebesaran Allah SWT ataupun kemuliaan dan perjuangan Rosululloh SAW yang memperjuangkan tegak dan tersebarnya risalah islam ini ke seluruh penjuru bumi. Pernahkah kita menyadari bahwa tanpa perjuangan Rasulullah SAW tersebut belum tentu kita bisa mengecap indahnya islam saat ini. Dimanakah rasa memiliki kita atas agama yang kita anut?

Sudah saatnya kita mengenang, merenungkan begitu beratnya perjuangan Nabi Muhammad SAW serta para sahabat Rodhiyallohuanhum agar kalimat tauhid bisa tegak dalam hati tiap umat saat itu. Mereka tak mengharap apa-apa selain keridhoan Allah SWT. Pernahkah terdengar bahwa mereka mengharap gunung emas dan materi dunia sebagai ganti dan imbalan dari hal yang mereka serukan? Malahan Rasulullah SAW sendiri pernah bersaksi dengan keyakinan yang mantap untuk menolak kenikmatan dan gemerlap dunia yang dijanjikan para pemimpin zalim saat itu sebagai imbalan jika bersedia meninggalkan dakwah islam.

Sungguh, dunia bagi mereka hanya merupakan sarana yang digunakan dalam rangka mentaati Allah SWT. Rasa memiliki mereka terhadap islam bagaikan udara yang senantiasa dihirup yang dibutuhkan dalam kelangsungan kehidupan.

Creative Commons License
Sebuah Perenungan by Posts is licensed under a Creative Commons Attribution-Noncommercial-No Derivative Works 3.0 Unported License.
Based on a work at zidaburika.wordpress.com.

Satu respons untuk “Rasa Memiliki

  1. Assalamu’alaikum

    Ikhwah…; suatu saat saya ditanya oleh seorang rekan, apa sebenarnya yang kamu punya? Saya terdiam untuk sekian saat. Pikirku mulai meneliti pertanyaan sederhana ini. Pertanyaan sederhana, namun bersifat hakikiyah dan bukan maknawiyah. Aku bilang, tidak ada. Tidak ada yang aku punya. Dia bertanya lagi, kenapa bilang tidak ada? Kemudian aku jawab lagi ; bagaimana tidak (sambil menunjukkan jemariku), bahkan jemariku ini pun bukan punyaku. Semua yang ada ini adalah titipan Allah untukku. Tiap dari kita memang dititipkan sesuatu oleh sang Empunya. Dititipkan jasad atas ruhnya, dititipkan harta jadi hiasannya, dititipkan istri disampingnya.

    Ikhwah…(ijinkan saya bercerita), di suatu masa ada raja diraja bernama Al Wahid Al Qohhar. Sudah jadi kebiasaan (Ia mengutus abdi-abdi untuk berjalan mengarungi dunia lain), Sebelum diberangkatkan, Ia bertanya kepada para abdi, apakah kalian mengakui bahwa Aku adalah raja kalian? Semua abdi menjawab, benar…Engkau adalah raja kami. Dalam perjalannya, setiap abdi ditemani oleh kawan-kawanya (namanya Anis, Harben dan Amsal). Anis dan Harben, terkenal pandai mengambil hati si utusan ini; dan karenanya seringkali lebih disayang. Sedangkan Amsal, seringkali diabaikan.

    Kini tibalah saatnya si utusan dipanggil oleh sang raja untuk kembali. Tahukan Antum sekalian, siapa yang berkenan menemani si utusan untuk menemui sang raja? Ikhwah…, ternyata hanya amsal yang mau menemaninya. Teman yang dahulunya sering dia abaikan.

    Ikhwah…; anis dan harben adalah perlambang anak-istri dan harta benda. Mereka tidak akan mengantarkan kita tatkala Al Wahid Al Qohhar (Allah SWT) menghendaki kita untuk kembali pada-Nya. Hanya amal sholeh (Amsal) yang akan menemani kita dengan setia.

    Semoga cerita ini bermanfaat buat saya dan Antum. Wassalamu’alaikum Wr Wbr

Tinggalkan komentar